Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.
Memandang jagung itu,
sang pemuda lihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dan suatu hari subuh
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar.
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara yang murni
tercium bau kue jagung.
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung.
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja.
Tetapi ini:
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
tamat s.m.a.
Tak ada uang,
tak bisa menjadi mahasiswa.
hanya ada seonggok jagung
di kamarnya.
Ia memandang jagung itu.
Dan ia melihat
dirinya terlunta-lunta.
Ia melihat dirinya ditendang
dari discoteque.
Ia melihat sepasang sepatu kenes
di balik etalage.
Ia melihat saingannya
naik sepeda motor
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri
miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal.
Tidak akan menolongnya.
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya
berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang punya latihan
untuk bebas bekerja.
Pendidikan telah memisahkannya
dari kehidupan.
Aku bertanya:
Apa gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang
menjadi orang asing
di tengah kenyataan persoalan
keadaannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastera,
tehnologi, kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya.
ketika ia pulang ke daerahnya,
lalu berkata:
“Disini aku merasa asing dan sepi!”
Sumber : Ajip Rosidi (2012) dalam Puisi Indonesia Moderen
Komentar
Posting Komentar