Cerpen #5
“Ada yang menangis saat aku
tersenyum. Ada yang tersakiti saat aku bahagia. Aku tahu, kini aku adalah
bagian dari orang aneh”
Di
bawah pohon yang rimbun, Ivan, Irsa, dan Mega mengerjakan tugas-tugas dan
laporan praktikum. Mereka duduk di bangku taman yang terbuat dari batu ditemani
semilir angin. Ivan dan Irsa duduk berseberangan sehingga posisi mereka
berhadapan. Sedangkan Mega duduk tepat di sebelah Ivan. Udara panas siang
menuju sore lenyap, hanya ada kesejukan. Apalagi untuk hati seorang Mega.
Jarang-jarang dia bisa duduk bersama Ivan untuk mengerjakan tugas dan
bercengkrama. Wajahnya terlihat berseri-seri, menyiratkan kebahagiaan yang
dalam di hatinya. Sesekali matanya memandang Ivan, tanpa diketahui tentunya.
Mega
selalu bahagia ketika Ivan menanyakan perihal tugas mata pelajaran yang sedang
mereka kerjakan. Alasan yang pertama adalah karena dengan begitu Mega bisa
menunjukkan sejauh mana kelebihannya sehingga Ivan menilai bahwa dia pintar. Yang
kedua, hal itu menjadi kesempatan bagi Mega untuk bisa lebih dekat dan
berkomunikasi dengan Ivan meskipun hanya tentang tugas sekolah.
“Bu, ini cara penyelesaiannya gimana?”, tanya Ivan kepada Mega sambil menunjuk salah satu soal tugas mata
pelajaran kimia. Panggilan ‘Bu’ adalah panggilan
teman-teman kelas kepada Mega karena katanya mirip salah satu guru yang
mengajar di kelasnya.
“Oh yang itu. Sebentar ya aku coba kerjakan dulu”,
jawab Mega semangat.
Mega
mengerjakan soal yang Ivan tanyakan dengan semangat. Otaknya seakan tiada hambatan
meski soal sesulit apapun. Kini semua sibuk dengan tugasnya masing-masing.
Hening. Tiba-tiba sebuah pesan singkat diterima Irsa.
Pulang jam berapa, Ir? Aku udah
beres nih nyari bukunya.
-Nia-
“Hei,
kita sampai jam berapa nih kerja kelompoknya?”
“Bentar
lagi juga beres”, jawab Ivan sambil terus mengerjakan soal stoikiometri. Irsa
langsung membalas pesan singkat Nia.
Bentar lagi, Bos. Tunggu ya.
-Irsa-
“Kenapa,
Ir? Buru-buru pulang?”, tanya Ivan kemudian.
“Nggak,
ini temen aku mau pulang bareng”
“Siapa?
Nia? Ajak kesini aja atuh”
“Ya
udah aku suruh kesini aja ya”
Bos kesini aja, tunggunya disini.
-Irsa-
Tak
lama kemudian, Nia datang dengan map biru di tangannya. Setumpuk tugas-tugas
bersemayam di dalamnya. Jas almamater masih membalut tubuh Nia meski sudah
waktunya pulang. Rapi, begitu orang melihatnya. Nia menghampiri Irsa dengan
ragu dan malu karena ternyata ada Ivan. Nia sudah menyangka, tapi tetap tak
bisa menguasai diri.
“Ir,
pulang jam berapa?”, tanya Nia sembari menghampiri Irsa, lalu menyapa yang lain
dengan senyuman. Ada perubahan raut wajah setiap orang. Wajah Mega yang
berseri-seri seketika lenyap, terganti kebencian dan ketakutan. Sebaliknya,
Ivan terlihat lebih bersemangat dan bahagia, meski tetap memasang wajah yang
terkesan jaim.
“Sebentar
lagi, Bos. Tunggu ya”, jawab Irsa sambil menggeser posisi duduknya
mempersilakan Nia duduk di sampingnya. Tanpa pikir panjang, Nia langsung duduk
di samping Irsa. Terasa berat bagi Nia untuk menatap ke depan karena wajah yang
akan dia lihat saat mendongakkan kepala adalah wajah yang selalu hadir dalam
mimpi indahnya akhir-akhir ini. Nia menunduk dan terus menunduk, berpura-pura
membaca buku.
“Nia,
nggak ada tugas Kimia Organik?”, tanya Ivan membuka pembicaraan. Dengan
terpaksa Nia menoleh pada Ivan. Memandang lagi wajahnya yang rupawan. Nia
berharap Ivan tak menangkap raut wajah bahagia pada dirinya.
“Ada,
tapi sudah beres”, jawab Nia. Kini degup jantungnya tak teratur. Mendengar Ivan
menyebut namanya adalah hal yang membahagiakan bagi Nia.
“Coba
lihat”, kata Ivan tanpa basa-basi.
“Boleh
boleh”, sahut Nia sambil menyodorkan catatannya kepada Ivan.
Percakapan
di antara Nia dan Ivan terus berlanjut hingga Irsa dan Mega menangkap ada satu
hal yang berbeda di antara mereka. Ada sebuah ketertarikan di antara keduanya.
Ketertarikan yang membuat Mega cemburu.
“Eh,
udah sore nih. Kita pulang yu”, ajak Mega tiba-tiba.
Nia
tak ingin mengakhiri momen ini. Momen bisa bersama Ivan dan bercakap-cakap
dengannya meski tak seberapa banyak yang mereka bicarakan. Tapi, apalah
dayanya, siapa pula dirinya, tak berhak meminta waktu Ivan untuk bisa bersama.
Ivan segera membereskan bukunya. Dia tampak tidak keberatan dengan ajakan
pulang Mega.
Tak
lama kemudian, mereka berempat sudah beranjak dari tempat duduk dan mulai melangkahkan
kaki menuju gerbang sekolah. Nia berjalan di samping Ivan, sedangkan Irsa dan
Mega tepat di belakang mereka. Ivan masih saja mengajak Nia berbicara. Hal itu
membuat Mega semakin tak suka. Sangat tidak suka. Rasa yang berbeda justru
menghiasi hati Nia. Dia tak menyangka hari ini akan demikian indah. Jalan
kenangan yang biasa menjadi tempat kelelahan hinggap dan berkeluh kesah disaat
pulang, kini menjadi sangat indah. Daun-daun hijau yang menjuntai dari sekolah
sebelah seakan bunga warna-warni. Namun, dia segera sadar, ada hati yang
terluka. Dia menyadari seseorang tengah memerhatikan dia dan Ivan. Rupanya
kebahagiannya membuahkan kesedihan bagi orang lain.
“Kenapa
Bu diem aja?”, tanya Irsa menyadari perubahan sikap Mega yang ceria sebelum Nia
datang sedangkan kini bermuram durja.
Bukannya
menjawab, Mega malah menuliskan sesuatu di handphone-nya,
kemudian memberikannya pada Irsa.
Aku cemburu melihat mereka. Apakah
Nia menyukai Ivan?
Irsa
tahu jawabannya, namun dia tak ingin menyakiti siapapun.
Aku tak tahu, tapi mungkin saja.
Ketik Irsa.
Seketika
tetesan bening jatuh dari sudut mata Mega.
-bersambung-
Komentar
Posting Komentar