“Kala matanya berkaca-kaca dan air mata
tertahan di sudut mata, kala itulah kami tahu betapa besar ketulusannya”
Aku
tak pernah menyukainya. Aku dan teman-teman selalu mengejeknya. Dia yang
kumaksud adalah seorang dosen mekanika fluida yang sudah tua renta tapi
memaksakan diri mengajar di sebuah perguruan tinggi tempatku menimba ilmu.
Hal
menyebalkan pertama darinya adalah selalu tiba di kelas sebelum waktunya. Pagi-pagi
sekali, sebelum semua mahasiswa tiba, bapak dosen yang satu ini selalu sudah
duduk manis menunggu kami dan menatap setiap tempat duduk mahasiswa. Bisa
kubayangkan, mungkin ketika masih muda, tatapannya sangat tajam. Kebetulan aku
termasuk mahasiswa yang hadir lebih awal saat itu. Baru hadir sepuluh orang
dari tiga puluh orang. Dan mungkin hanya dua dari sepuluh orang yang
betul-betul ingin mengikuti mata kuliah ini. Aku tidak termasuk dua orang itu.
Kedua,
kami tak pernah mengerti apa yang disampaikannya. Kami pikir karena cara bicaranya
yang kurang jelas. Kurang lebih seperti cara bicara kakekku yang menyuruh ini
itu. Bedanya, bahan pembicaraannya adalah sederet teori dan rumus-rumus
mekanika fluida. Tapi, entah itu hanya penilaian subjektif mahasiswa terhadap
dosennya. Aku pikir dosen selalu salah di mata mahasiswa, begitupun mahasiswa
selalu salah di mata dosen. Biasanya, apabila apa yang disampaikan dosen tidak
dimengerti, maka kami akan lebih banyak belajar melalui catatan yang diberikan
dosen di papan tulis. Tapi parahnya, tulisannya pun seringkali tidak kami
mengerti. Ketika menulis, tangannya seringkali bergetar. Akhirnya, tak ada
satupun hal yang bisa kami dapat dari mata kuliah ini.
Ketiga,
dia selalu memberikan tugas berupa soal-soal mekanika fluida. Parahnya, kami
harus ke depan satu-satu untuk menyelesaikan soal-soal tersebut. Kami yang tak
tahu apa-apa ini hanya bisa pasrah jika saat ‘eksekusi’ itu tiba. Jika tidak bisa
menyelesaikan soal-soal tersebut, maka kami akan diceramahi panjang lebar. Dia
tidak pernah marah, paling menertawai kami dengan tawa yang kadang kami tak
mengerti. Cara ini membuat kami tak nyaman.
Saat
ujian tiba, kami bingung bukan kepayang. Bukan bingung karena saking banyaknya
yang harus dipelajari, tapi bingung saking tidak tahunya apa yang harus
dipelajari. Akhirnya, kami hanya membolak-balik soal-soal yang pernah
ditugaskan. Dan kami akan sangat pasrah jika ternyata soal ujian tidak sama
dengan soal-soal tugas yang pernah diberikan.
Setelah ujian berlalu, sudah tak
bisa dibayangkan bagaimana hasil ujian mekanika fluida. Selain sesak nafas
menanti hasil IPK, kami juga masih memiliki setumpuk laporan praktikum mekanika
fluida yang harus diselesaikan. Mungkin mata kuliah ini memang hanya sebagai
pelengkap penderita di semester ini.
“Laporan dikumpulkan sekarang ya.
Yang terakhir tolong kumpulkan ke bapak”, kata KM di depan kelas.
Dan kelompok akulah yang harus
mengumpulkan. Dengan terpaksa, aku dan dua orang temanku menemui bapak di
ruangannya. Perasaan harap-harap cemas karena takut ditanya macam-macam
menyertai kami ketika masuk ke ruangan bapak.
“Assalaamu’laikum, Pak. Saya mau
menyerahkan laporan satu kelas”
Bapak menghampiri kami tanpa
mengeluarkan sepatah katapun. Lalu diambilnya laporang-laporan ini dari
tanganku. Dibuka dan dibacanya halaman demi halaman setiap laporan. Dag dig dug hati kami menanti respon
bapak tentang ujian. Sempat terbersit niat menanyakan hasil ujian untuk
menghilangkan keheningan. Tapi sepertinya bukan niat yang bagus.
“Kalian belajar atau tidak untuk
menghadapi ujian?”, tanya bapak tiba-tiba.
“Be..be..belajar, Pak”, jawab aku
mendadak gagu.
“Jika belajar, masa kalian hanya
mengumpulkan blank document?”
Aku dan dua orang temanku saling
bertatapan, merasakan bahwa bapak sedang membiacarakan hasil ujian kami.
“Belajar yang rajin agar nilainya
bagus. Tidak hanya itu, tapi juga pahami setiap yang dipelajari. Bukan apa-apa.
Pertama, perkembangan jaman semakin pesat. Kalian harus bisa bersaing. Kedua,
kalian adalah mahasiswa-mahasiswa yang dinantikan karyanya. Kalian adalah bagian
dari solusi. Bapak selalu membayangkan kalian bisa membuat suatu karya dengan
bidang ilmu yang dipelajari, khususnya konsep mekanika fluida. Semua karya itu
bukan untuk bapak, tapi untuk kalian. Untuk kebermaknaan hidup kalian”, kata
Bapak panjang lebar.
“……”,
kami hanya diam mendengarnya. Ada rasa sakit di bagian hati. Tapi rasa ini tak
seperti biasanya, seperti sebuah tamparan, di hati.
“Bapak bulan depan pensiun. Bapak
harap kalian lebih semangat untuk belajar. Jangan seperti ini lagi. Apa yang telah
bapak beri sebetulnya itu akan sangat berguna pada aplikasinya. Hanya saja
mungkin kalian belum menyadarinya”
Seketika rasa bersalah dan
penyesalan menyergap. Menghimpit hati hingga terasa sakit sekali. Dalam
ketidaklancaran berbicara, beliau tak lelah menyampaikan ilmunya, meski kami
sering mengabaikannya dan malah pulas tertidur. Dalam gemetar tangannya, beliau
begitu semangat menuliskan rumus-rumus untuk kami, meski hanya ada satu atau
dua orang yang memperhatikan tulisannya. Dalam usianya yang sudah lanjut,
terdapat harapan luar biasa kepada kami. Harapan untuk menjadi manusia-manusia
bermakna di hadapan masyarakat dan Tuhan. Dan, dari air mata yang menggenang di
sudut matanya, aku mengerti betapa besar pengorbanan dan ketulusannya mengajari
kami selama ini.
Sejak saat itu, aku tak pernah lagi mengabaikan
dosen bagaimanapun cara mengajarnya. Karena aku menyadari, setiap orang memiliki
kekurangan, apalagi dalam hal mengajar. Aku pikir, alangkah bijaksana seorang
mahasiswa menyikapi kekurangan tersebut dengan tidak mencela atau mengabaikan,
melainkan dengan belajar lebih keras. Karena semangat belajar yang
berkobar-kobar tak akan padam hanya dengan cara dosen mengajar yang tidak
cocok. Karena niat belajar yang sangat kokoh tak akan runtuh hanya dengan cara
dosen mengajar yang tidak nyaman. Karena setiap dosen menginginkan kita untuk
lebih baik. Dan, dibalik sikap menyebalkan setiap dosen, ada ketulusan yang
tidak terkira. Tinggal bagaimana hati kita bisa terbuka lebar untuk menerima
setiap ketulusannya.
Komentar
Posting Komentar