Cerpen #4
“Terjadi kapan saja dan kepada siapa saja. Cinta memang tak terduga”
Seperti biasa, aku berangkat bersama
Irsa dan selalu berpisah di koridor depan masjid jika hari Kamis. Di pertigaan
koridor, dia belok ke kanan menuju laboratorium sedangkan aku belok ke kiri
menuju kelas. Seseorang yang tampak sedang menunggu Irsa langsung menghampiri
saat Irsa tiba di belokan. Dia terlihat sangat cemas dan terburu-buru, tapi
masih tetap tampan dan memesona seperti biasa. Rasanya tak ingin berlalu dari
Irsa. Rasanya ingin satu kelas dengan Irsa agar bisa memandang laki-laki itu
setiap saat.
Di kelas, teman-teman sedang sibuk
dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sarapan. Ada yang ngerumpi. Ada yang
mengerjakan laporan untuk besok. Kadang aku bosan dengan suasana ini. Ingin
rasanya pindah ke kelas sebelah, kelas Irsa maksudku. Jika tak mustahil,
mungkin setiap pagi akan kulihat wajah tampannya. Meski jarang tersenyum, tapi
daya tariknya tak memudar. Justru karena itulah aku semakin ingin memilikinya.
Jika senyum saja tak dia obral, maka tentu saja hatinya hanya
diperuntukkan orang spesial.
Kebetulan guru mata pelajaran Kimia
Dasar berhalangan hadir hari ini sehingga aku bebas menggalau. Rasa ini
membuatku lebih hidup. Meski bias, tapi dia menjadi motivasi untuk lebih baik
agar aku menjadi pantas untuk dirinya. Meski tak tentu bahagia, tapi
kehadirannya selalu menjadi inspirasi. Meski kadang sakit, tapi aku semakin
giat menunjukkan diri menjadi yang terbaik. Ah, aku jatuh cinta. Benar-benar
jatuh cinta.
*
Irsa mengambil erlenmeyer. Dihisapnya
larutan dari labu ukur menggunakan pipet ukur dan dituangkannya ke dalam
erlenmeyer. Dia berharap ini titrasinya yang terakhir hari ini. Hatinya semakin
terpacu kala melihat Ivan yang sedang membereskan peralatan di sebelah mejanya.
“Udah selesai, Van?”
“Udah. Kamu cepetan beresin”
“Iya ini juga mau. Bantuin dong, Van”
Tanpa diminta dua kali, Ivan langsung
membantu Irsa membereskan peralatan praktikum yang sudah tak terpakai.
Dicucinya lalu disimpannya ke tempat semula semua peralatan. Meski kadang
terkesan sombong dan jutek, tapi Ivan adalah orang yang sangat peduli orang
lain, asalkan orang itu tidak menyebalkan menurutnya. Irsa adalah teman yang
supel sehingga mudah sekali Ivan akrab dengannya. Tidak ada lagi keraguan untuk
saling meminta tolong, bahkan sesekali menceritakan sesuatu yang bersifat
pribadi.
“Udah tuh, Ir”
“Makasih, Van”
Ivan hanya mengangguk lalu berjalan
keluar laboratorium tanpa menunggu Irsa. Dia duduk termenung di depan koridor
menghadap taman Masjid Al-Hikmah. Peluh menetes mengiring lelah. Tatap matanya
sempat kosong. Hingga tiba-tiba Irsa menepuk pundaknya dari belakang.
“Heh, ngelamun”
Ivan melihat ke arah Irsa tanpa rasa
kaget. Mungkin dia memang tidak melamun.
“Kamu kenapa nggak langsung pulang?”,
tanya Irsa kemudian melihat Ivan tak menanggapi sapaannya.
“Mau ngobrol dulu sama kamu”, jawab
Ivan datar. Tentu saja memunculkan rasa penasaran Irsa.
“Ngobrol apaan?”, tanya Irsa tak
sabar mendapat jawaban.
“Temen kamu yang suka bareng teh
siapa?”, Ivan bertanya balik.
“Yang di kelas sebelah? Nia”, jawab
Irsa masih penasaran menunggu pernyataan Ivan selanjutnya.
“Iya. Dia kok deket banget sama kamu,
Ir?”,tanya Ivan kemudian. Irsa masih heran dengan maksud Ivan memberikan
pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
“Dia tuh temen aku dari umur tiga
tahun, Van jadi masih deket sampai sekarang”, meski penasaran, tapi jika sudah
menceritakan tentang sahabatnya serasa tak ada keberatan. Baginya, kisah
pertemanan selama empat belas tahun adalah kisah luar biasa yang harus semua orang
tau.
“Hah? Dari tiga tahun? Nggak bosen?”,
tanya Ivan kaget.
“Enggak lah”, jawab Irsa singkat
sembari tersenyum karena terbersit wajah Nia empat belas tahun yang lalu.
“Kamunya sih engga, tapi dianya yang bosen.
Hahaha”, keduanya tertawa. Suasana sedikit mencair, tapi Irsa tidak lupa dengan
rasa penasarannya.
“Kenapa emang, Van?”, tanya Irsa
lagi.
“Nggak apa-apa. Dia gimana sih
orangnya?”, Ivan masih tak menjawab rasa penasaran Irsa.
“Baik banget, Van. Pinter lagi”
“Kalau itu sih udah tahu. Ceritain
yang lain kek”, pinta Ivan sangat ingin tahu.
“Hemmm apa ya. Ceritain apanya?
Banyak banget yang aku tahu tentang dia”
“Ya udah aku nanya. Dia udah punya
pacar?”
“Baru putus dua bulan yang lalu”,
jawab Irsa. Raut mukanya berubah sedih mengingat apa yang terjadi pada
sahabatnya dua bulan yang lalu.
“Kenapa?”, Ivan seperti menyelidik.
“Cowoknya selingkuh”, jawab Irsa tak
semangat.
“Yang mutusin siapa?”
“Cowoknya”
“Kasihan”, terlihat raut simpati dari
wajah Ivan.
“Iya, kurang baik gimana coba dia”,
kata Irsa membela sahabatnya.
Seketika suasana hening. Irsa dan
Ivan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Eh, kok kamu kepo tentang dia sih,
ada apa?”, tanya Irsa lagi, masih penasaran.
“Nggak ada apa-apa”, jawabnya datar.
“Suka ya?”
Ivan tersenyum.
-bersambung-
Komentar
Posting Komentar