Seorang anak berusia tujuh tahun
menengadahkan tangannya.Ya,dia sedang meminta,bukan kepada Tuhan,tapi kepada
manusia.Saat nyala lampu merah didapatinya,ia tersenyum bahagia.Entreuprener menyebutnya ‘peluang
usaha’.Begitupun dengan anak berambut pirang-karena terkena radiasi
matahari-itu.
“Aku yang dulu bukanlah yang sekarang.Dulu ditendang sekarang ku
disayang…….”
Ah,semua kalimat yang
dinyanyikannya hanya omong kosong.Hanya angan-angan.Aku tahu itu.Menunggu
keberuntungan?Saat seseorang berusaha menuju titik puncak,terjatuh,lalu
bangun,jatuh lagi,dan bangun lagi sehingga apa yang diimpikan terwujud saat
nyaris putus asa,itulah keberuntungan.
Gambar : 4antum.wordpress.com
Semerbak wangi sate yang berasal
dari warung sate di pinggir jalan menyeruak ke dalam hidungku dan
hidungnya.Jika jalanan tak bising,mungkin aku sudah bisa mendengar suara
perutnya.Pakaiannya kumal sekali.Mungkin dibelinya sejak lima tahun yang
lalu.Tetap cukup di badannya karena ia tak mengalami pertumbuhan.Kurang gizi
mungkin.Kasihan.
Dia berpura-pura.Selalu
berpura-pura.Menghibur orang dalam angkutan umum,tapi dirinya sendiri merana.Bernyanyi-nyanyi
riang di depan para calon ‘pemberi’ namun di hatinya menolak.Kasihan.
Jika ia datang padaku untuk
belajar bagaimana menjalani hidup,dengan tangan terbuka aku ajarkan padanya.
Jika ia memintaku untuk
mendukungnya menjadi manusia bercita-cita,dengan hati yang tulus aku
mendukungnya.
Jika ia utarakan maksud untuk
mengubah nasib hidupnya,dengan senang hati akan kudengarkan keluh kesahnya.
Tapi sayang,dia hanya datang
untuk meminta sepeser recehan.Tidak lebih.Aku pun hanya memberikan lima jari
tangan kananku padanya,tanda bahwa tak akan ada uang yang aku simpan di telapak
tangannya.
Kita sama-sama manusia di hadapan
Tuhan.Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangi adik kecilku.Aku selalu
ingin sampaikan betapa berharga dirinya untuk dunia.Tapi sayang,mungkin dia tak
menyadarinya.Bukankah terlalu dangkal jika rasa sayang ini hanya kuungkapkan
dengan memberi recehan?
Aku ingin membuka otak dan
hatinya.Ingin kuletakkan memori bahwa dia punya potensi dan mampu berubah.Ingin
ku tanamkan di hatinya,bahwa dia harusnya mau mengejar kebahagiaan yang lebih
tinggi,bukan terhenti pada kegiatan mengamen.
Suatu hari nanti,aku akan
mendatanginya.Melabrak semua pikiran buruknya.Menghapus semua jejak hitam di
setiap langkah masa lalunya.Menggugurkan semua perilakunya yang pasrah dengan
keadaan.Semoga bukan hanya aku,tapi semua orang yang peduli pada masa depannya.
Maaf,mungkin itu kasar.Tapi
dengan itulah dia dapat belajar.Mungkin aku seperti manusia yang tak punya rasa
kasihan.Dan itu benar aku ‘seperti’,bukan manusia yang benar-benar tak punya
rasa kasihan. Aku hanya ingin bocah-bocah jalanan itu seperti yang ada dalam
pikiranku.
“De,kenapa
ngamen?”
“Buat bayar sekolah”
“Bukannya udah ada beasiswa?”
“Ga dapet”
“Ko bisa?”,tanyaku heran.
“Cuma buat yang rankingnya
bagus”
“Oh.Jadi kamu ga bagus?”
“Nggak”
Ternyata kadang bukan salah
pemerintah melulu.Bukan tidak ada bantuan untuk biaya pendidikan.Bantuan ko
bersyarat?Harus pinter?Lebih semacam motivasi sih sepertinya.Dan bukankah kita semua tahu,seharusnya ketika ada
janji kebahagiaan,kita pasti akan dengan semangat mengejar kebahagiaan
tersebut?Seharusnya begitu pula anak-anak itu.Setelah dijanjikan jalan keluar
untuk permasalahan ekonomi dalam pendidikan,seharusnya dia belajar mati-matian
untuk meraihnya.
“Tuh,udah ada yang peduli sama
kamu,mau biayain.Tinggal kamunya mau apa engga?”
“Mau dong,teh?”
“Rajin belajar dong kalo mau”
“Kan harus ngamen”
“Ngapain ngamen lagi?Ngapain
ngemis lagi?Kan udah dibiayain?”
“………..”
Stuck.
Mengamen telah menjadi kegiatan
alam bawah sadarnya.Gila ! Dia menikmatinya.
Aku tahu tidak sesederhana
itu.Dan aku paham,bukanlah logika anak itu yang salah.Dia hanya terhimpit.Terhimpit
ketakutan yang begitu besar hingga tak ada ruang baginya untuk menumbuhkan
keberanian.Dia terlalu takut kepada orang tuanya yang tak bisa hidup jika
dirinya tidak ‘bekerja’ di lampu merah sepulang sekolah.Dia terlalu tertekan
pada orang-orang yang ‘mempekerjakannya’.Kasihan.
“Kamu senang mengamen?”
“Iya seneng.Apalagi kalau udah
dapet uang banyak”
Ah,dasar anak-anak.Polos.
“Ko seneng sih?Kan
cape,panas-panasan?”
“Ngga apa-apa biar mamah sama
bapak seneng”
“Belajar di sekolah juga seneng
loh.Bisa bikin seneng orang tua juga kalo kitanya pinter”
“………..”
Dia diam.
Entah diamnya adalah tanda
mengerti atau tanda tidak setuju.
“Tapi takut dimarahi mamah bapa
kalo ga ngamen”
Gambar : lovelyranii.blogspot.com
Benar saja,diamnya dia untuk
memikirkan sanggahan yang tepat.Ternyata tidak semudah yang
kubayangkan.Teringat film ‘Alangkah Lucunya Negeri Ini”,benar saja,tak mudah
mengubah mindset mereka.
Dan itulah tugas kita selaku
orang yang masih peduli kepada saudara se-Adam se-Hawa kita untuk menghilangkan
ketakutannya dan mengembalikan kesadarannya.
Harus dipikirkan kembali
bagaimana menyampaikan maksud kita.Caranya,bahasanya,sisi psikologisnya,dan
apapun yang berhubungan dengan komunikasi untuk mereka.Untuk itulah kita harus
bekerja sama.Minimal mereka tahu mengapa kita tak mau memberikan recehan.Bukan
karena tidak peduli,kan?
Meski tak semudah memberi
recehan,tapi itu bisa terjadi asalkan kita menyadari bahwa kita dibutuhkan
mereka dan tanpa pertolongan kita,mereka akan tetap begitu-menjadi benih
masyarakat Indonesia yang tidak berkualitas.
Jika direnungkan lagi,kebobrokan
bukan hanya salah mereka yang melakukan kebobrokan itu sendiri,tapi tiadanya
peran orang-orang di luar pelaku kebobrokan itu.Diamnya kita adalah sebuah
dukungan untuk kebobrokan tersebut.Bukankah kita yang diam saja melihat sebuah
rumah kebakaran sama dengan ikut menunggu lenyapnya rumah tersebut?
Penonton itu ‘nothing’,hanya
bisa melihat lalu merasakan penderitaan dan kebahagiaan orang lain.Pelaku lah
yang membuat sejarah.
So,bergeraklah !
Komentar
Posting Komentar