“Dirimu harus menjadi lebih baik setelah
mengenalku. Itulah tujuan persahabatan”
Aku
menatap langit malam yang indah bertabur bintang dengan perasaan bahagia.
Hembusan angin yang dingin mengingatkanku pada seseorang yang nasihatnya selalu
terngiang di pikiranku. Nasihat yang membawa perubahan besar sejak saat itu,
meski terucap dengan menyakitkan. Pikiranku terbang jauh pada masa itu.
*
Enam belas derajat celcius adalah
temperatur lingkungan yang telah aku rasakan selama dua minggu di tempat ini
dan sepertinya akan terus begitu hingga dua minggu ke depan. Di ruangan yang
tak terlalu luas ini, dingin masih menusuk tulang. Karbon dioksida yang
dihembuskan dari sebelas manusia pun tak cukup membuat ruangan terasa hangat.
Tiupan angin di siang dan malam hari terasa sama. Dingin. Kala matahari
terbenam, bumi berselimut kabut. Dari jarak yang tak terlalu jauh, asap
membumbung tinggi dari menara-menara pendingin pembangkit listrik disertai
beberapa sorotan lampu sehingga langit terlihat jingga.
Kala
pagi menjelang, mata kami tak dapat melihat dengan jarak pandang yang jauh.
Kabut masih setia menyelimuti bumi. Mau tak mau, kami menembus gelapnya kabut
untuk mencari makanan. Untungnya, jaraknya tak terlalu jauh dari kontrakan.
Tapi tetap saja, jaket tebal harus selalu kami pakai agar tidak terserang
demam. Beberapa waktu lalu dan hingga saat ini, demam datang silih berganti,
menerpa beberapa orang di antara kami. Proses adaptasi yang cukup berat
menurutku. Bandung tak sedingin ini.
Area
panas bumi memang selalu di atas gunung. Sehingga, inilah resiko menempuh
proses belajar di area ini. Selama satu bulan kami melaksanakan kerja praktik
di tempat ini. Dan selama itu pula kami harus bertahan dengan keadaan dingin
tiada tara.
Setiap
pagi kami bangun, sembahyang, mandi, sarapan, lalu berangkat berjalan kaki
menyusuri jalan beraspal. Pepohonan berjajar meneduhkan. Pipa-pipa uap
terpasang di sepanjang jalan. Limpahan oksigen membuat perjalanan selama tiga
puluh menit ini terasa menyenangkan, meski jalan berkelok-kelok. Saat jalan
menanjak, letih mulai hinggap. Dan saat jalan menurun, kami berlari-lari
bahagia.
Tetesan
air dari menara pendingin seolah hujan menyambut kami. Uap tak terkondensasi
membumbung tinggi dari menara pendingin. Aroma hidrogen disulfida menyengat ke
hidung, kadang membuat perut mual. Pemandangan yang tak biasa.
Mengisi
daftar hadir, konsultasi dengan pembimbing, makan di kantin, mengunjungi
perpustakaan dan area pembangkit adalah rutinitas di tempat ini. Selalu begitu
setiap hari.
Hari demi hari kami lalui dengan penuh
kegiatan. Dua minggu pertama, aku merasa bahagia dan menikmati. Namun, lama-lama
rasa jenuh mulai menyergap. Segala permasalahan datang menghampiri seolah tahu
inilah waktu yang tepat untuk menjatuhkan diriku. Terlebih lagi, tugas yang
banyak dari pembimbing lapangan. Ah, rasanya ingin segera pulang. Saat mental
ku masih kuat, fisik lemah tak terlalu jadi kendala. Namun, saat kejenuhan
melanda dan mental luar biasa terguncang serta hampir putus asa, akhirnya fisik
pun ikut tak berdaya. Mulai dari fisik yang mulai demam, flu, batuk hingga
muntah karena cuaca dingin, pola makan yang buruk, dan lelah mengerjakan
tugas-tugas. Kondisi seperti itu menyeret psikisku untuk turut merasakannya.
Alhasil, aku benar-benar jatuh dan tak bisa bangkit dalam arti sebenarnya.
Karena hal itu, hidupku terasa penuh
kesulitan. Presentasi tugas kacau, pengerjaan laporan tertunda, di lapangan tak
pernah fokus. Ah, rasanya ingin segera berakhir. Aku ingin pulang.
“Des, kita kirim tugas ke dosen
pembimbing besok ya. Terus besok kita sudah harus mendapatkan seluruh data
untuk perhitungan dan analisa”, kata Nia teman satu kontrakan. Dari sebelas
orang yang tinggal di kontrakan ini, hanya aku dan dia penghuni perempuan, sedangkan
sisanya adalah laki-laki. Ketika ada masalah apa-apa denganku, Nia lah yang
lebih tahu dibanding yang lain. Tapi sayang, dia terlalu dingin dan tak empati,
bahkan sesekali seperti tak punya hati. Seringkali aku tak mengerti sikapnya.
Tadi siang saat aku minta antar ke toilet karena tak kuat menahan pusing dan
mual, dia dengan sikapnya yang dingin
menolak permintaanku karena alasan tanggung belum waktunya istirahat. Setiap
mengerjakan tugas, dia tak pernah mengajakku. Membiarkan aku sendiri dalam rasa
jenuh dan muak dengan proses hidup disini. Ketika dia bersedia mengantarku ke
dokter – itupun setelah aku meminta – aku merasa sangat terkejut. Jarang-jarang
dia memperhatikanku. Jarang-jarang dia peduli padaku. Tapi itu tak membuat
penilaian ‘tak empati’ pada dirinya berubah. Bayangkan saja, orang sakit
diingatkan tugas-tugas.
“Aku nggak akan hadir besok”, kataku.
“Kenapa?”
“Nggak kuat, Ni. Aku mau pulang saja”
Dia hanya diam mendengar jawabanku. Ku
pikir dengan alasan begitu, dia akan memberikan semangat. Atau minimal
mendoakan ku agar cepat sembuh. Atau jika untuk berkata-kata lidahnya terasa
berat, maka cukup ekspresi khawatir dan simpati yang aku harapkan. Tapi
sungguh, dia tetap dingin. Dia bongkahan es, bukan sahabat !
“Kalau masih bisa jalan, mending hadir
saja, Des. Besok kan presentasi, sayang banget kalau nggak hadir”
“Siap, Ni, siap”, jawabku kesal.
Setibanya di kontrakan, aku langsung
menuju tempat tidur dan menjatuhkan badanku ke tempat tidur. Tak ada hal lain
dalam pikiranku selain menelepon ibuku. Mumpung kontrakan masih sepi juga, tak
akan ada yang mendengar tangisanku kecuali Nia.
Ku tekan dua belas angka tersusun
cantik, nomor ibuku. Akhir-akhir ini sering sekali kuhubungi nomor ini. Sore
hari menjelang matahari terbenam, ibuku pasti sedang ada di rumah.
Tuuuut..tuuut..tuuut
“Hallo, Des”, sahut seseorang dari
sana.
“Ma, Des sakit. Tadi udah periksa ke
dokter”
“Sakit apa katanya?”
“Lambungnya kena. Gara-gara pola makan
katanya. Terus disini juga dingin banget, ga kuat”
“Syukur kalau sudah diobati. Memang
pola makannya bagaimana, Des?”
“Ya disini makannya mie terus. Nggak
ada sayur. Pokoknya makannya nggak bener. Maaa, Des ga kuat, Ma hidup disini”, air
mataku mulai menetes.
“Kenapa bilang begitu, Des?”, tanya
ibuku dengan nada suara khawatir.
“Fisik sama psikis Des nggak kuat
menjalani ini semua. Des sakit-sakitan dari awal disini. Nggak bisa adaptasi
sama cuaca disini. Terus Des juga nggak bisa megikuti proses belajar.
Presentasi nggak pernah bener. Kalau ditanya pembimbing, Des nggak bisa jawab”,
air mataku bercucuran.
“Kan yang lain juga sama, Des. Coba
belajar sama temen-temen”
“Yang lain pada pinter, Maaa. Mereka
nggak pernah sakit kaya Des. Terus pada belajar masing-masing, Maaaa. Des
bingung”
Aku melirik Nia, barangkali dia
tersinggung. Aku berharap dia benar-benar tersinggung agar menyadari sikapnya
selama ini.
“Ya sudah kan masih ada dua minggu
lagi. Jalani dulu. Jangan lupa berdo’a”
“Nggak, Ma, Des nggak mau. Des ingin
pulang. Des ingin pindah kuliah, di tempat kuliah sekarang berat banget, Ma.
Des serasa nggak dapet apa-apa dari hasil kuliah dua tahun”
“Mau pindah kemana, Des? Apa tidak
sayang?”
“Des nggak kuat, Ma”, hanya itu
akhirnya yang bisa kuucapkan kepada ibuku.
Di
penghujung percakapan, setelah wajahku basah dengan air mata, ibuku memberikan
semangat dan do’a. Ibu juga meyakinkanku bahwa sebenarnya aku bisa menjalani
semuanya, hanya harus bersabar dan lebih tegar.
Kulihat
Nia yang sedang mengotak-atik ponselnya, entah apa yang dia lakukan dengan ponselnya.
Kurasa, sedari tadi dia mendengar seluruh percakapanku dengan ibuku. Setelah
beberapa saat kuperhatikan, dia membuka suara, meski selalu dengan sikap yang
dingin.
“Des,
boleh aku memberi masukan?”, tanyanya padaku sambil menatap tajam tepat ke mataku.
“Ya,
Ni, boleh”, jawabku dengan menyiapkan hati yang lapang untuk mendengar masukan
dari Nia.
“Sebelumnya
maaf tadi mendengarkan percakapanmu dengan ibumu”
“Ya
tidak apa-apa”
“Maaf
juga jika selama ini aku terlalu dingin seolah tak peduli padamu. Padahal jika
kau tahu, aku selalu memperhatikan kamu. Pola hidup, pola belajar, pola
berpikir. Aku tahu banyak sekali yang ingin kusampaikan, namun biasanya orang
tak akan menerima dengan hati terbuka saat ia tak benar-benar membutuhkannya.
Termasuk kamu. Kau ingat beberapa hari yang lalu saat aku ingatkan kalian untuk
mengerjakan tugas? Bagaimana responnya? Kalian malah mengatakan aku so rajin,
terburu-buru, dan jutaan kata negatif lainnya, bukan begitu? Untuk itu, aku tak
pernah mau lagi mengingatkan kecuali kalian yang meminta. Dan kurasa, saat ini
kau membutuhkannya”
Aku
ingat, dua hari yang lalu dia mengingatkanku dan teman-teman yang lain untuk
segera mengerjakan tugas agar tidak menumpuk di akhir. Tapi dua orang temanku
malah mencemoohnya, aku tidak termasuk. Aku diam. Aku mengerti niatnya baik.
Mungkin itu membuatnya trauma untuk bersikap peduli pada kami.
“Sebenarnya,
aku betul-betul ingin mengkritikmu, Des. Fisikmu sakit karena psikismu yang
sakit. Kamu tak punya niat, tak punya tujuan, tak punya rencana, Des. Coba aku
tanya, apa tujuanmu datang kesini?”
Aku
diam karena memang benar aku tak punya tujuan, apalagi rencana.
“Yang
aku tahu, kau kesini hanya ingin bersenda gurau di kontrakan, jalan-jalan ke
kawah, jalan-jalan ke pemandian air panas, foto-foto, bukan begitu? Kau ceria
saat bersenda gurau dengan teman-teman, namun putus asa saat presentasi. Kau
sehat saat jalan-jalan, namun sakit saat hendak mengerjakan tugas. Ada yang
salah dengan cara berpikirmu, Des. Salah. Benar-benar salah !”
Berulang
kali dia mengucapkan kata ‘salah’, menegaskanku bahwa aku salah. Aku memang
salah. Dan ucapannya benar. Aku malu.
“Lalu,
apa pindah tempat kuliah menjadi solusi? Des, pikir, kita sudah dua menjalani
kuliah selama dua tahun. Waktu yang tidak sebentar. Jika kau bilang tak ada
yang kau dapat, itu salahmu. Pindah kuliah bukanlah solusi. Hanya akan
membebanimu dan orang tuamu. Lalu apa yang salah? Ya, perbaiki tujuanmu.
Buatlah rencana”
Aku
mulai paham apa yang harus aku lakukan.
“Des,
menyalahkan orang lain tak ada gunanya. Kita akan mempertanggungjawabkan
masing-masing kehidupan kita. Kita sudah dewasa, tak perlu diajak-ajak. Kita
sendiri yang harus sadar hak dan kewajiban kita”
“Iya,
Ni. Aku tahu dimana kesalahanku”
“Ya,
aku harap memang begitu, Dan tak hanya itu, buatlah tujuanmu lebih jelas.
Rencanakan apa-apa yang akan kau lakukan untuk mencapai tujuan itu. Agar ketika
kesulitan datang, kamu tak mudah menyerah”
“Iya,
Ni. Terimakasih banyak. Bantu aku untuk memperbaiki semuanya ya”
“Pasti,
Des, pasti. Aku tak akan membiarkan orang yang pernah bersahabat denganku tak
mengalami perubahan menjadi lebih baik. Dirimu
harus menjadi lebih baik setelah mengenalku. Itulah tujuan persahabatan. Namun
mungkin semuanya akan kulakukan dengan caraku. Maaf jika kamu sakit hati”
“Nggak,
Ni, aku senang kamu memberi masukan seperti ini”
“Baguslah”
*
Sejak
saat itu, aku mulai melakukan apa yang dikatakan Nia. Aku memantapkan tujuan.
Merencanakan segalanya dan tentu saja melaksanakan semuanya tanpa
malas-malasan. Benar saja, aku tak pernah sakit lagi meski lebih sibuk
melakukan kegiatan yang lebih banyak. Semangatku terjaga meski tantangan datang
silih berganti. Dan di hari terakhir kerja praktik, saat aku harus presentasi
hasil kerja praktik selama satu bulan ini, aku bisa berdiri dan berkata-kata
dengan percaya diri.
Aku
pulang dengan rasa bahagia. Laporan selesai, nilai bagus kudapat, ah rasanya
tenang sekali. Tiba-tiba aku teringat seseorang yang membuatku seperti ini.
Ingin kuucapkan beribu terimakasih dan meminta maaf telah menudingnya sedingin
es batu.
Bagiku,
itulah sahabat sesungguhnya. Mungkin di luar dia tak pernah menampilkan
ekspresi simpati akan apa yang terjadi, namun hatinya tengah merasakan
kesakitan yang aku alami. Mungkin ucapannya tak pernah terdengar manis, tapi
dalam pikirannya, dia jauh lebih tahu tentang diriku dibanding aku sendiri.
Mungkin nasihatnya sangat menyakitkan, namun jauh di balik itu semua, dia ingin
membuatku lebih baik. Terimakasih, sahabat.
Komentar
Posting Komentar