Cerpen #1
Mengharap cahaya dari lilin tak bersumbu
Mengharap cahaya dari lampu pijar tak
berfilamen
Penantian ini akan sia-sia
Enam
bulan yang lalu, aku patah hati. Laki-laki yang kuanggap akan mencintai ‘hingga
darah tak mengalir dan jantung tak berdetak’ seperti yang pernah dikatakannya,
ternyata tega mengingkari janjinya karena seorang perempuan yang mungkin menurutnya
lebih baik dariku. Menangis adalah kegiatan rutin di setiap hariku saat itu.
Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah dia yang kini bukan lagi milikku.
Satu-satunya obat hati adalah menghilangkan seluruh kebencian dalam hati dan
merelakannya bahagia.
Sejak
saat itu, rasanya tak ingin lagi mencintai. Sejak saat itu aku hanya peduli
pada studiku. Seringkali aku mencela orang yang memiliki keinginan untuk
berpacaran, apalagi jika perilakunya sampai berlebihan. Salah satu contohnya
adalah kisah pedekate teman sekelas
dari temanku. Perempuan itu begitu berambisi untuk mendapatkan hati seorang
laki-laki yang juga teman sekelasnya. Mengapa harus mengejar laki-laki yang
belum tentu memiliki rasa yang sama? Terlebih lagi, yang aku tahu, laki-laki
itu sangat sombong, meski kuakui dia memang cukup menarik. Namun tetap saja, aku
menilai aneh setiap wanita yang mendekatinya, terlebih lagi mencintainya.
‘Lebai’, begitu menurutku. Bisa-bisanya mereka berlomba untuk mendapatkannya
hanya karena tampangnya yang rupawan. Sedangkan ternyata laki-laki itu
mencintai perempuan lain yang jelas-jelas bukan mereka. Cukup alasan bukan aku
mengatakan mereka aneh?
Karena
membencinya, aku malah jadi sering memerhatikan laki-laki itu. Lama-lama, ada
kesan lain dalam pandanganku. Kebencian itu sepertinya malah tak terbukti.
Ternyata, canda dan tawanya
serta sikapnya yang sopan
memang membuat semua orang ingin
berlama-lama dengannya. Ternyata, tutur katanya yang lembut
memang membuat setiap wanita merasa
diperhatikan olehnya. Ternyata, wajahnya memang benar-benar rupawan. Matanya sipit. Rambutnya dirancungkan seperti anak muda
kebanyakan. Jika berjalan sembari mengaitkan jari-jari tangan kanannya di saku celana
abu-abu SMA sebelah kanan. Keren. Kulitnya yang
putih menambah ketampanan semakin terlihat dari dirinya. Badan tegap dan lebih tinggi juga lebih
besar-istilah Sundanya jangkung badag-dibanding
teman-teman seusianya membuat wanita ingin berjalan di sampingnya.
Terlebih lagi, kecerdasan dan prestasi yang diukirnya di sekolah ini, tentu
saja membuat banyak wanita ingin
menjadi pacarnya.
“Subhanallah. Maha Suci Allah yang
telah menciptakan makhluk setampan ini”, mungkin begitulah yang diucapkan wanita-wanita yang bertemu dengannya.
Mungkin seperti ekspresi wanita-wanita yang melihat Nabi Yusuf,
hingga tak terasa, tangan mereka yang
seharusnya mengiris bawang, malah mengiris jarinya sendiri. Lebih parah lagi, banyak hati wanita
yang terluka karena ingin mendapatkan perhatiannya. Menurut
mereka itu pengorbanan. Wanita-wanita itu
harus berlomba untuk mendapatkan perhatiannya, apalagi cintanya. Dan itulah yang
membuatku risih melihatnya.
Ada wanita yang menyukai karena
ketampanannya. Siapa mereka? Tentu wanita-wanita yang memiliki kecantikan di atas rata-rata atau minimal
wanita dengan kecantikan biasa namun bisa memoles wajahnya.
Putri, seorang wanita cantik yang tengah mencari informasi tentang
laki-laki itu. Namun sayang, hatinya keburu hancur ketika mendengar
bahwa laki-laki itu masih sering berkomunikasi dengan salah
satu mantannya melalui telepon dan SMS.
Tiara, juga wanita cantik yang begitu mengharapkan
kedekatannya dengan laki-laki itu. Mereka sempat dekat, tapi harapan Tiara harus
pupus di tengah jalan karena kedekatan itu ternyata digunakan laki-laki
itu untuk menceritakan kenangan
manis besama mantan-mantannya. Istilah tepatnya, curhat.
Ina, wanita
yang tidak begitu cantik namun memiliki kesamaan hobi dengan laki-laki
itu, memanfaatkan kesamaannya itu
untuk bisa lebih dekat. Namun, manusia biasanya hanya akan mendapat apa yang diniatkannya. Mereka dekat, tapi hanya untuk
urusan hobi. Tidak lebih. Titik.
Dwi, siswi baru yang merupakan adik bimbing laki-laki
itu ketika ospek, ternyata diam-diam menaruh hati. Bagaimana tidak, kakak kelas yang
pertama dilihat dan dikenalnya di sekolah begitu rupawan. Begitu memesona dengan segala
perhatiannya.
Mega,teman sekelasnya yang juga cantik dan
memiliki kulit putih bersih namun agak gemuk itu juga tak kalah menyukainya. Menurut pengakuannya,
dia hanya kagum kepada laki-laki itu. Kagum pada kecerdasannya. Ingin bersaing saja katanya. Namun tentu itu
hanya alasan untuk menutupi agar laki-laki yang dia maksud tidak tahu.
Lalu, siapa lagi? Tentu masih banyak daftar wanita yang berusaha
mendapatkan hati laki-laki itu, namun
itu tak mungkin disebutkan satu persatu,terlalu banyak. Dan aku mulai
muak menceritakannya.
Kenyataan itu berpengaruh besar terhadap
pribadi laki-laki pujaan wanita-wanita itu. Menjadi agak sombong. Itulah penilaian bagi wanita yang tidak
termasuk dalam daftar orang yang menyukainya. Salah satunya aku yang memiliki penilaian
seperti itu. Tapi lama-lama aku menemukan satu kenyataan bahwa ketampanan, kecerdasan, dan kelembutan tutur katanya tetap tak
pudar dengan penilaian ‘agak sombong’, justru semakin terkesan cool dan jual mahal. Jelas saja, wanita-wanita semakin berlomba. Wanita yang bisa mendapatkan hatinya, artinya dia memiliki
sejuta kelebihan untuk membeli sejuta kelebihan yang dimiliki laki-laki
itu.
Dan
wanita itu bukan aku.
Setengah
tahun telah berlalu. Luka hati karena pengkhianatan mulai sembuh. Rasa sakit
yang mendera setiap malam kini nyaris hilang. Tak ada lagi cucuran air mata di
setiap malam, yang ada hanya senyum pengantar tidur. Tak ada lagi wajah yang
kubenci, yang ada hanya bayang wajah rupawan yang kuharap dia akan memiliki
rasa yang sama dan membayangkanku dalam setiap mimpi indahnya. Tak ada lagi
hati yang dipenuhi dendam, yang ada adalah hati yang dipenuhi cinta. Tapi cinta
kali ini salah orang. Mungkin benar, semakin kita benci akan sesuatu, maka
semakin besar perhatian kita padanya. Dan buah dari perhatian itu adalah
kekaguman. Untuk ke depannya, mungkin aku akan menanti mungkin juga tidak. Entahlah,
biarkan waktu yang akan menjawab.
-Bersambung-
Komentar
Posting Komentar