Cerpen #2
“Tuhan memberiku kesempatan untuk mengenalmu,
tapi (mungkin) tidak untuk memilikimu”
Beberapa hari ini, aku sengaja
sering duduk di depan kelas di setiap kesempatan yang ada. Aku selalu menoleh
ke kelas sebelah dan mencari seseorang. Saat mataku mendapati sosok yang
dicari, senyum tak kuasa terukir dari bibirku. Perilaku ini muncul begitu saja
akhir-akhir ini.
Dia muncul dari balik pintu. Dengan
segala pesonanya membuat hatiku tak kuasa untuk selalu mengarahkan pandangan
kepadanya. Dengan teliti kutatap setiap
gerak-geriknya. Aku mendapatinya sedang mengobrol bersama temannya. Entah apa
yang sedang dibicarakan. Wajahnya kadang dihiasi senyuman, kadang juga terlihat
serius. Obrolannya sempat terhenti saat dia menelepon seseorang. Andai
telingaku bisa mendengar suara dengan frekuensi sangat rendah, mungkin aku bisa
tahu apa yang sedang dibicarakannya. Kini, hanya raut wajah bahagia yang
kudapati pada dirinya. Entah siapa yang tengah berbicara dengannya dan entah
apa yang dibicarakannya.
“Hei, lihatin apa?”, tanya Ratih
mengagetkanku.
“Eh, Tih ini lagi ngadem aja duduk
disini”, jawabku tak berterus terang. Hingga saat ini tak ada yang tahu motif
apa yang membuatku sering memperhatikannya, termasuk diriku sendiri.
“Ke kantin yu”, ajak Ratih kemudian.
“Hayu”, kataku semangat karena
melihat dia dan temannya pun berlalu menuju kantin.
Di setiap langkah menuju kantin,
tatap mataku tak lepas dari sosok itu. Sosok yang tampan dan menawan serta jual
mahal.
Kadang
putus asa menghampiri, serasa tak mungkin dia memandangku. Dan aku pun sepertinya
tak akan pernah bisa membuatnya memandangku. Tapi jika optimis menghampiri,
tanpa ragu kutanyakan tentangnya kepada Irsa serta merencanakan cara untuk bisa
dekat dengannya.
Hari
ini sepulang sekolah, itulah yang terjadi. Dengan penuh semangat aku menanyakan
segala sesuatu tentangnya kepada Irsa sembari bersepeda. Kadang riuh klakson
kami dapati karena keasyikan mengobrol.
Kini,
seringkali kutatap wajah indahnya di handphone-ku.
Tadi siang aku meminta fotonya dari Irsa. Agar tak hanya wajahnya yang bisa
kutatap, aku mencoba memberanikan diri meneleponnya dengan alasan meminjam
laporan praktikum. Sebetulnya, aku hanya ingin tahu bagaimana respon dia.
Sebelum menelepon. aku menyusun kata-kata untuk
diucapkan. Takut kalau-kalau ketika mendengar suaranya menjadi diam seribu bahasa
gara-gara salah tingkah. Setelah itu, ku ketik nomor handphone-nya lalu memanggilnya.Terdengar nada ringtone dari handphone.
Bila kau sakiti aku akan pergi. Bila kau
sayangi bertahan disini.......
Ah, lagunya The Titans, ujarku dalam hati.
“Hallo.
Assalaamu’alaikum”, seseorang disana mengangkat telepon. Namun bukan suaranya,
mungkin ayahnya.
“Wa’alaikumsalam,
Pak. Saya temannya Ivan. Ivannya ada?”,tanyaku deg-degan.
“Oh
sedang sembahyang. Nanti telepon lagi saja”, jawab seseorang disana.
“Oh
iya, Pak terimakasih. Maaf mengganggu”, aku lupa ini waktunya shalat maghrib.
Sebaiknya
tak perlu menelepon lagi. Takut mengganggu. Takut disangka yang bukan-bukan.
Takut diacuhkan. Takut besok dijutekin ketika bertemu. Ah, sudahlah keinginanku
memang hanya sebatas angan-angan, wajar saja tekadku tak sekeras baja.
Akhirnya,
galau menerpa. Kenyataan tak semudah harapan. Kenyataan tak seindah imajinasi. Mengerjakan
tugas-tugas sekolah merupakan cara ampuh menghilangkan galau bagiku. Lagipula
hari ini adalah H-2 kegiatan praktikum sehingga esok hari pasti sibuk sekali
dan harus begadang mengerjakan laporan, menyiapkan jurnal, menyiapkan pretest sebelum praktik, dan masih
banyak lagi setumpuk tugas lainnya.
Biasanya
malam-malam seperti ini seseorang akan memberikan motivasi melalui pesan
singkat ataupun telepon. Tapi kini tak akan ada lagi. Meski kadang bayangnya
hadir, tapi kucoba menepisnya. Masa lalu yang menyakitkan tak perlu diungkit
kembali. Kalaupun harus memulai lagi sebuah kisah kasih, bukan dengannya kisah
itu tertulis.
Maaf ini siapa ? Dan tadi ada apa telepon?,
sebuah pesan singkat masuk. Tanpa nama. Tapi aku ingat itu nomor siapa.
Ini Nia. Mau pinjam laporan praktikum
gravimetri, boleh ?, tanyaku tanpa pikir panjang. Mungkin dia akan bingung
mengapa tiba-tiba aku meminjam laporan padanya. Tapi, sudahlah.
Boleh. Besok aku bawa, ternyata dia
masih membalas pesanku. Daaaaan aku bahagia karena besok aku akan bertemu
dengannya dengan alasan mengambil laporan.
Terimakasih ya, kataku.
Sama-sama,
katanya.
Meski
singkat dan terkesan dingin, tapi aku bahagia bisa berbicara dengannya. Mungkin
nanti akan kucoba lagi untuk berbicara dengannya. Dan aku tak sabar menanti
hari esok.
*
Aku tergesa-gesa menuju kelas. Bukan
terlambat, tapi ingin segera menemuinya di kelas sebelah. Aku menitip pesan
kepada Irsa. Mungkin pesanku sudah disampaikan karena kulihat dia tengah duduk
di depan kelas dengan laporan praktikum di tangannya. Aku segera menghampirinya.
Dengan tersenyum malu ku menyapanya.
“Dibawa kan laporannya ?”, tanyaku tanpa basa-basi,
benar-benar salah tingkah. Otakku seperti berhenti bekerja hingga tak ada kata
yang bisa terucap.
“Iya, ini”, katanya sambil menyerahkan laporan.
“Terimakasih”, hanya itu yang bisa kuucap.
“Sama-sama”, ucapnya tanpa senyuman. Aku pun berlalu
meninggalkannya. Malu, sedih dijutekin, bingung, deg-degan, dan sejuta perasaan
lainnya bercampur di hati.
Meski kali ini tak seindah yang kubayangkan, tapi aku
akan terus mencoba mencari tahu bagaimana dirinya. Meskipun begitu, ambisi tak
akan terlalu ku beri pupuk, karena jika harapan tumbuh subur sedangkan nyata
tak demikian, tentu akan sangat menyakitkan.
Hanya
beberapa menit kita bertatap wajah. Hanya beberapa menit kita saling berucap.
Hanya memandanginya. Dari jauh tentunya. Ada sebuah rasa yang berbeda, bahagia
sekaligus kecewa. Entah kapan rasa ini mulai tumbuh, yang jelas pohonnya telah
berbuah rasa penasaran. Dan kini aku memanen rasa penasaran itu. Begitu banyak
hingga aku tak kuasa menampung dalam wadah pikiranku. Satu per satu aku kupas
dan oh ternyata semuanya adalah pertanyaan tentang dirimu. Bagaimana bisa kau
masuk begitu saja dalam pikiranku? Bagaimana mungkin kau lolos dari pintu hatiku? Ah semakin ku tak mengerti.
Rasa
ini mengubah kestatisan menjadi kedinamisan. Hitam, putih dan seluruh warna
lain dia torehkan. Dia benar – benar membuatku gila. Sungguh gila. Mana mungkin
dia ada di sampingku untuk mendengar keluh kesahku? Mana mungkin dia menjadi
sumber kebahagiaanku hingga suatu hari nanti?
Aku
belum mampu menilai apakah ini cinta atau hanya sebuah harapan yang
sesungguhnya tak perlu. Mungkin aku hanya ingin tahu dirinya. Mungkin aku hanya
mengaguminya. Maybe, I am your secret
admirer.
-Bersambung-
Komentar
Posting Komentar