Cerpen #3
“Tuhan, jangan biarkan harapan tumbuh subur, sedang nyata
enggan muncul.
Seperti kini, nyata tak seperti asa”
I’m
your secret admirer. Andai dia tahu itu. Tapi jika dia tahu, tentu bukan
lagi rahasia. Akhirnya aku hanya bisa menatapnya. Terus menatapnya. Dalam foto
maupun nyata. Kurasa rasa ingin tahu dan penasaran ini bukan tak beralasan. Jatuh
hati kepadanya, mungkin itu alasannya. Setiap hari aku meminta bantuan Irsa
untuk bisa sekedar menyapanya. Kurasa hal itu adalah karena aku jatuh hati
padanya. Tapi bagaimana mungkin aku menyukainya padahal belum lama ini aku
membencinya dan begitu mengganggap berlebihan setiap wanita yang menghampirinya
? Ah, akhirnya termakan ucapan sendiri. Aku malu mengakui ini bahkan pada
diriku sendiri.
Namun
bagaimanapun, aku selalu tak bisa menyembunyikan apapun dari Irsa, termasuk
perasaan. Selain itu, sepertinya dia sudah semakin aneh melihat tingkah lakuku
akhir-akhir ini yang sering menanyakan tentang lelaki itu. Semoga Irsa tak
tertawa terbahak-bahak saat aku mengatakan apa yang tengah kurasa.
“Ir,
kalau aku suka sama laki-laki itu gimana?”, tanyaku tiba-tiba saat pulang
sekolah.
“Wah
bagus, Bos. Memang sudah saatnya untuk move on”, jawab Irsa santai sambil terus
menggowes sepeda. Aku tersenyum mendengarnya. Seketika terasa lebih ringan
menggowes sepeda. Serasa mendapat jalan untuk mewujudkan impian.
Begitulahg
Irsa, seringkali responnya tak disangka. Apapun terasa menyenangkan saat
diceritakan. Impian segila apapun serasa menjadi mungkin untuk diwujudkan.
Termasuk masalah perasaan ku yang mungkin tak akan ada yang mengerti selain
Irsa.
“Ir,
bantuin aku deket sama dia ya”, kataku memohon pada suatu ketika. Kali ini aku
sengaja mengunjungi rumah Irsa karena tidak tahan menghadapi ke-galau-an
sendirian.
“Pasti,
Bos. Aku harus bantu apa?”, tanyanya antusias dan terlihat sangat senang
seperti diberi pengangguran mendapat pekerjaan. Entahlah, dia selalu mau
membantu mewujudkan impianku, apalagi untuk masalah seperti ini. Dari cinta
pertama, kedua, ketiga, dan sekarang keempat, dialah yang selalu kuandalkan
untuk menjadi Mak Comblang. Berdasarkan pengalaman, semuanya bisa diatasi dan
didapatkan. Nah untuk yang satu ini, semoga saja sama seperti pengalaman
sebelumnya.
“Aku
ingin tahu dia lagi suka sama siapa”
“Gampang,
Bos”
“Terus,
Ir, Mega masih suka sama dia?”
“Masih,
malah menjadi-jadi”
“Yaaah.
Laki-laki itu gimana responnya?”
“Belum
tahu sih”
“Sekalian
cari tahu, Ir”
“Siap,
Bos”
*
Minggu
ini adalah masa ujian praktikum. Untuk mahasiswa yang belum lama menempuh
pendidikan di sekolah analis kimia ini tentu saja hal itu merupakan pengalaman
pertama. Karena pengalaman pertama, muncul banyak persepsi dalam menghadapi
ujian praktikum. Katanya, ujian praktikum ini mengerikan. Dalam waktu yang
singkat, setiap peserta tes harus melakukan analisa titrimetri dan gravimetri. Ada
empat jenis bahan untuk analisa titrimetri yaitu natrium hidroksida, ammonium
hidroksida, asam klorida, dan asam asetat. Dan jenis bahan mana yang akan
dianalisa hanya diberitahukan sesaat sebelum ujian praktik. Yang menjadi
masalah adalah tidak adanya gambaran sedikitpun mengenai ujian praktik ini
sehingga siswa-siswi angkatan kami begitu gencar mencari informasi. Kebetulan,
kelasku kebagian ujian praktikum hari Jum’at sehingga ada banyak waktu untuk
mencari informasi kepada kelas-kelas sebelumnya yang sudah melaksanakan ujian
praktikum, termasuk kelas Irsa.
Karena
tidak sabar menunggu informasi dari Irsa. Ya, informasi mengenai ujian
praktikum dan tentu saja mengenai lelaki itu, aku menunggu di depan
laboratorium. Dari kaca jendela, aku mencari-cari Irsa, hanya ingin tahu sudah
sampai mana pekerjaannya. Secara jadwal, waktu ujian tinggal lima belas menit.
Diam-diam
mataku juga memerhatikan lelaki itu. Kebetulan mataku tak sulit untuk
menjangkau bayangannya. Meja tempatnya ujian praktikum tepat di sebelah
jendela. Aku tak tahu apakah dia menyadari sedang kuperhatikan atau tidak, tapi
pandangan mata kami sempat bertemu. Lalu dia tersenyum kepadaku. Dan kala
itulah aku mulai merasa malu setiap dia melihatku.
Akhirnya
Irsa keluar kelas. Bak wartawan memburu artis, aku langsung menghampiri dan mewawancaranya.
“Gimana,
Ir sukses?”
“Lumayan,
Bos, tapi belum dapet nih kalo info tentang dia”
“Iya
nggak apa-apa. Share dulu tentang ujian praktikum ya sambil pulang”
Sambil
menunggu Irsa melipat jas lab dan membereskan alat pelindung diri, diam-diam
aku memerhatikan lelaki itu lagi. Tak lama Irsa keluar laboratorium, dia pun
keluar. Dia sedang duduk tak jauh dari tempatku duduk menunggu Irsa. Sepertinya
dia lelah.
Saat-saat
seperti ini menjadi kebiasaan setiap hari semenjak aku jatuh hati kepadanya.
Dan biasanya menghampiri Irsa adalah alasan yang paling masuk akal untuk bisa
bertemu dengannya. Meskipun harus menunggu lama, aku rela. Seperti hari ini, usai
belajar kelas ku pukul dua belas siang sehingga harus menunggu tiga jam untuk
bisa bertemu Irsa dan tentu saja bertemu dia. Setelah bertemu ya begitu saja,
hanya melihatnya. Bahkan menyapanya pun tak berani.
Setelah
Irsa beres dengan semua kegiatannya, kami pulang.
“Duluan
ya semuanya”
“Iya
hati-hati, Ir”, sahut teman-teman kelas Irsa.
Lelaki
itu pun melihat kami. Tapi aku belum mampu mengerti bagaimana dia menerjemahkan
penglihatannya, apakah dalam pandangannya kami sekedar dua orang wanita yang
pamit untuk pulang duluan ataukah terselip rasa penasaran kepadaku sebagaimana
aku yang selalu penasaran terhadap dirinya?
Karena
hari ini Irsa tak sempat berbicara dengan lelaki itu, akhirnya aku memintanya
mencari tahu lagi keesokan harinya. Tapi esok hari pikiranku akan tersedot
untuk melaksanakan ujian praktikum. Mungkin aku akan melupakan hal itu sejenak.
Dan setelah praktikum, semoga saja ada kabar gembira dari Irsa.
*
Saat-saat
ujian praktikum yang begitu mendebarkan tiba. Aku melangkahkan kaki menuju meja
kerja di dekat jendela. Zat yang akan dianalisa adalah natrium hidroksida.
Cukup lega karena tingkat kesukarannya tidak terlalu tinggi. Satu jam, dua jam,
tiga jam berlalu pekerjaanku hampir selesai. Sembari menunggu pengarangan zat
besi untuk analisa gravimetri, aku duduk sejenak beristirahat. Mataku terarah
ke jendela begitu saja. Dan kudapati seseorang di balik kaca. Seseorang yang
kudapati tengah melihatku, tapi dengan cepat dia mengalihkan pandangannya saat
mataku menangkap bayangannya, lalu dia pergi. Aku tersenyum sendiri. Bahagia
menyeruak di dalam hati.
Waktu
ujian praktikum habis. Guru-guru menilai pekerjaan siswa-siswi lalu kami
diperbolehkan meninggalkan laboratorium. Di selasar, benar saja, Irsa sudah
menunggu.
“Bos,
lancar?”, tanya Irsa saat aku menghampirinya.
“Lancar,
Ir”, jawabku disertai rasa bahagia.
“Bos,
lelaki itu sedang penasaran dengan seorang wanita berinisial N”
Ada
banyak wanita dengan inisial ‘N’. Siapa? Oh, Tuhan, jika bukan aku orang yang
dia maksud, jangan biarkan harapan tumbuh subur, sedang nyata enggan muncul.
-Bersambung-
Komentar
Posting Komentar